“Hidup mati, kaya miskin, jodoh di tangan Tuhan. Kita enggak tahu kita mati kapan. Sejauh kita masih hidup, kita hidup sebaik-baiknya saja. Karena kita enggak tahu kapan kita akan dipanggil sama Tuhan. Orang sehat saja umurnya mungkin lebih pendek dari yang sakit.”
Demikian pelajaran terbesar yang dipahami Tulus (24), salah seorang penderita kanker darah atau leukimia yang sejak 2008 lalu dinyatakan bersih dari penyakit yang diidapnya sejak berumur dua tahun. Sepanjang menjalani berbagai perawatan dan pengobatan hingga saat ini, Tulus meyakini bahwa waktu hidup yang masih diberikan harus dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Untuk itulah, meski pada umur 15-20 tahun dirinya harus istirahat total di rumah sakit, Tulus tetap sekolah dan kuliah. Tentu saja, itu dilakukannya di rumah sakit. Tulus pun sudah memasuki tahun terakhir statusnya sebagai mahasiswa jurusan teknologi informasi di Universitas Bina Nusantara.
Pria yang kini juga tengah mengidap penyakit paru-paru, jantung dan penyumbatan syaraf di batang otaknya ini tengah mengerjakan tugas akhirnya untuk segera memperoleh gelar kesarjanaan sambil terus melakukan pemeriksaan rutin di RS Kanker Dharmais.
Namun, lanjutnya, yang paling berarti baginya adalah ketika dalam kondisi ini, Tulus bisa berbagi kepada para penderita kanker lainnya, terutama melalui komunitas Cancer Information & Support Center (CISC). Tulus menyadari bahwa kelemahan tubuhnya merupakan cara Tuhan untuk memberikan dukungan dan keyakinan kepada para penderita kanker lainnya, terutama leukimia, yang selama ini diketahui sebagai penyakit yang berujung pada kematian yang cepat.
“Makanya saya selalu berpikir yang positif saja, suatu saat Tuhan pasti punya rencana yang lain buat saya. Mungkin dengan begini, Tuhan bisa pakai saya buat kasih support ke orang-orang yang lain. Memotivasi orang-orang bahwa leukimia ternyata umurnya bisa panjang. Selama ini orang kan berpikiran kalau sudah divonis leukimia berpikirnya pasti umurnya pendek. Ternyata tidak,” ungkap pemuda yang kadang-kadang sering nekat pergi sendirian dengan kendaraan umum hanya untuk berjalan-jalan.
Pemahaman serupa juga dialami oleh Hesti. Wanita yang divonis menderita kanker payudara ini meyakini tidak ada hubungan langsung antara penyakit dengan kematian. Menurutnya, banyak orang sehat yang juga tanpa disangka akhirnya meninggal terlebih dulu. Untuk itulah, ketika masih ada waktu hidup yang diperolehnya, dirinya mengaku sangat bersyukur.
Rasa syukur diungkapkannya dengan belajar menerima keadaan dan berbagi kepada penderita kanker lainnya. Bahkan, dengan suara indahnya, Hesti juga mengaku ingin terus berbagi kepada orang lain, baik para penderita kanker ataupun yang tidak.
“Kesulitan kita adalah menerima apa yang Tuhan ijinkan terjadi. Walaupun saya menderita sudah hampir tiga tahun, tapi tetap pelayanan saya jalan. Saya tetap mempromosikan ASI, selain itu saya kerja sama dengan dokter saya untuk ngobrol dan memberikan dorongan kepada penderita kanker yang ditangani dokter saya,” katanya.
Ami, warga Bekasi, juga tak pernah menyangka divonis mengidap kanker payudara. Dari dua kali pemeriksaan, setelah biopsi diketahui dia mengidap kanker payudara stadium dua. Dirinya sempat panik dan malu meski harus terus menjalani rangkaian pemeriksaan.
“Saya awalnya takut. Saya bilang kepada Allah, dosa apa saya sampai kena penyakit ini,” ungkap wanita berjilbab ini ketika dijumpai Kompas.com pada momen yang sama.
Namun hatinya kemudian bisa menerima keadaan ini bukan sebagai akibat dari dosa-dosanya. Menurutnya, siapapun bisa terkena kanker. Penyebabnya memang bersifat medis, sama seperti yang dikatakan oleh pakar bedah onkologi dr. Samuel J Haryono, SpB (K) Onk. dari RS kanker Dharmais sebelumnya. Ami juga mengisahkan guru mengajinya ternyata juga mengidap kanker serupa.
“Saya jadi bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Saya jadi bisa instrospeksi diri lebih baik lagi. Saya dulu yang punya musuh, jadi enggak lagi. Terus dulu cepat marah, sekarang jadinya lebih sabar,” tuturnya. JAKARTA, KOMPAS.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar